Betapa tidak, di satu sisi aku paling kuatir apabila ada orang lain (misal : asisten rumah tangga) memarahi dan membentak-bentak anakku, memperlakukannya dengan kasar, menorehkan luka entah itu fisik maupun psikis. Namun nyatanya, kekerasan itu tetap ia alami.
Berita baiknya, bukan dari orang lain perlakuan tak pantas itu ia terima. Melainkan dariku, orang tuanya. Sosok yang seharusnya melindunginya.
Di momen libur panjang lebaran lalu yang harusnya kami manfaatkan dengan baik untuk mengukir memori indah bersama, justru menjadi saat yang mengerikan untuknya.
Kerap kali kreativitas yang ia hendak pamerkan pada kami, dengan harapan menerima apresiasi dan atensi figur idolanya, berakhir jauh dari harapan. Jangankan sekedar perhatian apalagi pujian, justru bentakan yang meluncur deras dariku.
Ketika ia memamerkan keahliannya berjalan di tepi got dangkal depan rumah, yang ditutup dengan kegagalan mempertahankan keseimbangan dan membuatnya tercebur di got itu. Bukan iba maupun kuatir yang spontan keluar, melainkan sebuah tatapan penghakiman. Sebuah pesan tak terucap, "Tuh kan, makanya jangan aneh-aneh toh, sekarang jadi ngrepotin papa mama kan," terkirim mantap ke dalam jiwanya.
Wajahnya seketika memucat pasi. Ketakutan tergambar jelas dari wajah kecilnya.
Label 'anak nakal' pun terukir di benakku saat menatapnya.
Ironis. Mengingat betapa 3 tahun yang lalu, aku lah yang selalu mendorongnya agar tak ragu mengeksplorasi dan mencoba pengalaman baru. Waktu itu, aku juga yang selalu sabar mendampinginya, ada di sisinya, menjaganya, memberinya perasaan aman agar ia mau mulai melangkah dan terus melangkah. Hingga akhirnya ia pun memiliki kepercayaan diri untuk mencoba, karena ia tahu papanya ada untuk menjaganya.
Waktu berlalu, kreativitasnya pun bertambah. Sayangnya, tidak demikian dengan kesabaranku.
Alih-alih mendorongnya untuk terus mengeksplorasi dunianya, malah aku pasang pagar besi yang sangat tinggi. Menutupnya rapat-rapat demi 'keamanannya'. Dan aku selalu meyakinkan diriku kalau semua ini aku lakukan karena aku 'menyayanginya'.
Dan karena itulah, aku layak menyandang gelar sebagai ayah pembohong.
Ya, aku membohonginya dan diriku sendiri. Karena sebenarnya, apa yang kulakukan tidak lain adalah karena keegoisan dan kemalasanku semata. Dua hal yang membuat akalku tumpul.
Akibatnya, aku cenderung melabelnya sebagai si nakal untuk menutupi kenyataan bahwa akulah yang sebenarnya...kurang akal.
Tak banyak waktu tersisa dari libur panjang ini. Semoga masih cukup masa untuk menutup liburan ini dengan meninggalkan kenangan indah untuknya. Kenangan bersama sosok idolanya...ayahnya.
Berita baiknya, bukan dari orang lain perlakuan tak pantas itu ia terima. Melainkan dariku, orang tuanya. Sosok yang seharusnya melindunginya.
Di momen libur panjang lebaran lalu yang harusnya kami manfaatkan dengan baik untuk mengukir memori indah bersama, justru menjadi saat yang mengerikan untuknya.
Kerap kali kreativitas yang ia hendak pamerkan pada kami, dengan harapan menerima apresiasi dan atensi figur idolanya, berakhir jauh dari harapan. Jangankan sekedar perhatian apalagi pujian, justru bentakan yang meluncur deras dariku.
Ketika ia memamerkan keahliannya berjalan di tepi got dangkal depan rumah, yang ditutup dengan kegagalan mempertahankan keseimbangan dan membuatnya tercebur di got itu. Bukan iba maupun kuatir yang spontan keluar, melainkan sebuah tatapan penghakiman. Sebuah pesan tak terucap, "Tuh kan, makanya jangan aneh-aneh toh, sekarang jadi ngrepotin papa mama kan," terkirim mantap ke dalam jiwanya.
Wajahnya seketika memucat pasi. Ketakutan tergambar jelas dari wajah kecilnya.
Label 'anak nakal' pun terukir di benakku saat menatapnya.
Ironis. Mengingat betapa 3 tahun yang lalu, aku lah yang selalu mendorongnya agar tak ragu mengeksplorasi dan mencoba pengalaman baru. Waktu itu, aku juga yang selalu sabar mendampinginya, ada di sisinya, menjaganya, memberinya perasaan aman agar ia mau mulai melangkah dan terus melangkah. Hingga akhirnya ia pun memiliki kepercayaan diri untuk mencoba, karena ia tahu papanya ada untuk menjaganya.
Waktu berlalu, kreativitasnya pun bertambah. Sayangnya, tidak demikian dengan kesabaranku.
Alih-alih mendorongnya untuk terus mengeksplorasi dunianya, malah aku pasang pagar besi yang sangat tinggi. Menutupnya rapat-rapat demi 'keamanannya'. Dan aku selalu meyakinkan diriku kalau semua ini aku lakukan karena aku 'menyayanginya'.
Dan karena itulah, aku layak menyandang gelar sebagai ayah pembohong.
Ya, aku membohonginya dan diriku sendiri. Karena sebenarnya, apa yang kulakukan tidak lain adalah karena keegoisan dan kemalasanku semata. Dua hal yang membuat akalku tumpul.
Akibatnya, aku cenderung melabelnya sebagai si nakal untuk menutupi kenyataan bahwa akulah yang sebenarnya...kurang akal.
Tak banyak waktu tersisa dari libur panjang ini. Semoga masih cukup masa untuk menutup liburan ini dengan meninggalkan kenangan indah untuknya. Kenangan bersama sosok idolanya...ayahnya.
Share opini atau pengalaman kamu tentang topik tulisan ini di sini. Share juga tulisan ini temen-temenmu, jika menurutmu bermanfaat.
&Joy!