Kematian adalah sebuah kepastian, jadi seharusnya bukan jadi sesuatu yang perlu ditakutkan, karena semua yang hidup, pasti mengalami kematian.

pentingnya asuransi jiwa

Ya, harusnya memang begitu. Namun, tetap saja, buat saya, kematian tetap menjadi momok yang menakutkan.

Apakah ini pertanda kalau saya kurang iman?

Sepertinya begitu. Karena kalau saya beriman, tentunya tidak ada yang begitu mengkhawatirkan dari kematian, bukan?

2 Kekhawatiran Saya Bila Sewaktu-waktu, Maut Datang Menjemput

Namun nyatanya, saya masih takut-takut bila sewaktu-waktu ajal menjemput. Setidaknya ada 2 hal yang membuat saya takut ketika sang malaikat maut datang menjemput.

1. Sudah Cukupkah Bekal Yang Saya Bawa Untuk Berpulang?

Ini merupakan kekhawatiran terbesar saya bila sewaktu-waktu, kematian datang menjemput.

Dalam keyakinan saya, kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari kehidupan yang sebenarnya…kehidupan yang abadi.

Masalahnya, sudah seberapa banyak bekal yang saya siapkan untuk mengarungi babak baru dalam kehidupan tersebut? Cukupkah untuk melalui kehidupan yang abadi itu? Sementara saat hidup di dunia saja, 1-2 hari tanpa ‘bekal’ saja rasanya sudah mau nangis.

Padahal, kehidupan di dunia cuma sementara.

Ambil contoh puasa yang sudah jelas ditentukan waktunya dari waktu fajar hingga tenggelamnya matahari. Berasa lama banget kan? Padahal cuma beberapa jam, dan sudah pasti ada hidangan tersedia saat berbuka.

Nah ini, perjalanannya entah berapa lama. Sanggupkah saya melaluinya? Cukup nggak sih, bekal yang saya bawa dari dunia ini untuk digunakan di kehidupan tersebut? Kalau nggak cukup gimana?

Bisakah saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sang malaikat penjaga alam kubur? Mampu nggak saya mempertanggungjawabkan semua yang sudah saya perbuat selama hidup di dunia?

Kebayang nggak, apa jadinya ketika kamu dan saya gagal total saat tiba waktu penghakiman tiba?

Plegak pleguk saat ditanya tentang aktivitasmu selama hidup di dunia?

“Ah kamu sih berlebihan mikirnya…udah santai aja, nikmatin aja hidup ini.”

Well, mungkin benar, saya terlalu berlebihan mikirnya. Namun, mengingat kalau kematian adalah sebuah kepastian, dan by default saya memang orang yang overthinking dan pesimis, saya nggak bisa enggak, overworry dengan hal ini.

2. Sudah Cukupkah Bekal Yang Saya Siapkan Untuk Mereka Yang Saya Tinggalkan

Sebagai seorang suami dan ayah, anak dan adik…hal lain yang sukses membuat overworry saya makin menjadi adalah, kehidupan keluarga ketika saya tak lagi bersama mereka.

Saya yakin saya nggak sendirian yang merasakan keresahan ini...bukan begitu Pak?

Sebagai kepala keluarga, sudah jadi tanggung jawab kita bukan, untuk jungkir balik menafkahi keluarga. Pertanyaannya, what if...maut menjemput, dan kita pun tak bisa lagi memenuhi tugas kita untuk menafkahi keluarga kita?

Bagaimana nasib keluarga kita yang kita tinggalkan? Mampukah mereka menjalani kehidupan dunia tanpa ada kita di sisi mereka?

Siapa yang akan mengajarkan mereka tentang agama? Siapa yang akan menemani mereka di waktu senggang? Siapa yang akan memenuhi kebutuhan finansial mereka?

Yang membuat kondisi makin mengkhawatirkan adalah, jangankan saat kita pergi meninggalkan mereka...saat saya ada saja, saya nggak yakin apakah saya sudah memenuhi peran saya sebagai kepala keluarga.

Lah wong masih ada saya saja, peran kepala keluarga belum bisa maksimal...apalagi ketika saya tak ada.

Ngerasain gini juga nggak sih Pak? Sebagai kepala keluarga, mempertanyakan diri sendiri, sudahkah kita memenuhi peran kita dengan sebaik-baiknya? Trus, kalau kita pergi meninggalkan mereka dengan kondisi porak-poranda, bagaimana ya kita mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Sang Khalik?

polis asuransi jiwa

Boleh Khawatir, Tapi Ikhtiar Dan Tawakkal Tetap Harus Jalan

Di satu sisi, dengan hal-hal yang saya sebutkan di awal, memang menakutkan dan meresahkan, dan bohong besar kalau saya minta bapak-bapak yang membaca postingan ini untuk tetap tenang, karena semua sudah ada yang atur.

Karena walaupun memang benar demikian, tapi tetap saja keresahan dan kekhawatiran itu ada kan Pak?

Lalu bagaimana?

Ya lakukan, apa yang bisa dilakukan Pak. Bukankah tugas kita di dunia ini hanya mengusahakan yang terbaik sembari menyerahkan segala hasilnya kepada Sang Khalik?

Lalu, apa saja ya yang bisa dilakukan?

Berikut ini beberapa ide yang bisa kita lakukan Pak, untuk mempersiapkan ‘keberangkatan’ kita.

  1. Memperdalam ilmu agama seraya membagikan apa yang sudah kita pelajari ke keluarga dan orang-orang sekitar. Walaupun yang dipelajari baru sedikit dan mungkin kita sendiri juga masih belajar mencoba dan mempraktikkannya, tapi nggak apa-apa Pak, tetap dibagikan saja.
  2. Mempraktikkan apa yang sudah kita pelajari dengan membiasakannya di dalam keseharian. Walaupun akan ada momen di mana kita akan hilang fokus, tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, atau lebih buruk lagi, mengulangi kebiasaan buruk kita…nggak apa-apa, coba lagi. Pokoknya selama masih dikasih kesempatan hidup, itu artinya kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
  3. Meninggalkan kebiasaan buruk sedikit demi sedikit. Walaupun yang namanya kebiasaan itu susah dihilangkan, tapi ingat Pak, lebih baik ngos-ngosan menghilangkan kebiasaan buruk daripada ngos-ngosan untuk mempertanggungjawabkan kebiasaan-kebiasaan itu di hadapan-Nya.
  4. Mulai berinvestasi untuk kehidupan akhirat. Pak, familiar dengan konsep passive income kan? Di mana, uang terus datang tanpa Bapak perlu kerja. Nah, dengan konsep yang sama, coba kita mulai investasi untuk kepentingan akhirat Pak. Caranya, dengan menebar kebermanfaatan yang bisa dinikmati orang-orang sekalipun kita sudah nggak ada.
  5. Menyiapkan bekal untuk orang-orang yang akan kita tinggalkan, supaya mereka bisa tetap melanjutkan hidup tanpa kita. Minimal Pak, kita bekali mereka dengan ilmu agama dan life skill. Selain itu, kita juga bisa meninggalkan bekal finansial yang bisa mereka gunakan untuk mengurus kematian kita dan melanjutkan hidup tanpa kita.

Memulai sesuatu yang baru itu biasanya perlu modal kan Pak? Salah satu modal yang bisa kita siapkan untuk keluarga dalam menjalani hidup baru mereka, tanpa kehadiran kita adalah dengan memiliki polis asuransi.

Untuk nilai polis asuransinya, Bapak coba hitung sendiri deh, yang penting cukup untuk mengganti income Bapak selama 2-5 tahun ke depan.

Jadi, penghasilan Bapak per tahun itu berapa, kalikan 2-5 tahun. Baru setelah itu, Bapak bisa tanya-tanya ke perusahaan asuransi, berapa premi yang harus dibayar untuk angka tersebut.

Nah, untuk urusan premi ini, sebaiknya sesuaikan dengan kemampuan finansial Bapak. Jangan sampai over, karena kalau gagal bayar premi, manfaat asuransi nggak jalan dan rencana ninggalin modal buat keluarga pun jadi ikut berantakan Pak.

Saya sendiri juga barusan ambil asuransi yang ya…kalau dibilang cukup untuk modal 2-5 tahun ya enggak juga sih. Jauh malah. Cuma ya gimana ya Pak, mampunya segitu.

Setidaknya jumlahnya cukup lah untuk melunasi beberapa hutang ketika saya sewaktu-waktu dijadwalkan untuk 'berangkat'.

Nominal preminya juga nggak semahal ngopi di kafe lho Pak. Jadi, ya saya pikir daripada ngopi di kafe cuma bisa dinikmatin sendiri, ya kenapa nggak dibelanjakan untuk sesuatu yang bisa dinikmati keluarga. Ya kan Pak?

Kesimpulan

Jadi itulah Pak, 2 keresahan saya sebagai kepala keluarga bila sewaktu-waktu dijemput untuk ‘pulang’.

Yang pertama tentu saja, bekal untuk saya sendiri di perjalanan pulang dan yang tak kalah penting, bekal yang saya tinggalkan untuk keluarga dan orang-orang tercinta.

Oya Pak, kalau pengen tahu tentang produk asuransi seharga ngopi di kafe tadi, Bapak klik aja di sini untuk informasi selengkapnya.

Kalau Bapak, kira-kira mengalami juga nggak sih, keresahan seperti yang saya rasakan ini? Atau jangan-jangan, ada keresahan lain yang Bapak rasakan?

Boleh share Pak di kolom komentar, biar kita bisa sama-sama belajar Pak.